Seperti Apakah Libia Pasca-Khadafi?
Kekuasaan Muammar Muhammad Abu Minyar al Gaddafi atau populer dengan nama Muammar Khadafi kini tinggal sejarah. Sang Kolonel tewas di tangan para pemberontak di tanah kelahirannya, Sirte. Rakyat Libia bersukacita merayakan kematian Khadafi. Era Khadafi telah berlalu.
Pemimpin dunia Barat memandang kematian Kadhafi sebagai berakhirnya kekuasaan tirani, dan awal baru bagi masa depan Libia yang lebih baik. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon menyebut kematian Khadafi sebagai sebuah momentum bersejarah, yang menandai akhir dari sebuah awal kehidupan baru di negara di belahan utara Afrika tersebut.
Dewan Transisi Nasional atau NTC segera mengumumkan deklarasi kebebasan sebagai langkah awal dimulainya era baru. NTC akan membentuk pemerintahan sementara dalam sebulan ke depan. Sedangkan pemilu untuk memilih dewan konstitusi akan dilaksanakan pada tahun depan.
Setelah seluruh huru-hara ini, rakyat Libia tentu ingin mendapatkan kondisi negaranya menuju ke arah yang lebih baik. Rakyat Libia mengharapkan kedamaian dan kebebasan di mana mereka bisa mengungkapkan hak politik yang dibungkam oleh Khadafi. Untuk semua itu, Libia telah membayar ongkos sangat mahal. Negara kaya minyak itu porak-poranda akibat pertempuran yang berlangsung beberapa bulan.
NTC yang kini memerintah harus membangun kembali bagian kota dan prasarana publik yang rusak. Seiring dengan itu, NTC harus cepat mengatasi melonjaknya harga kebutuhan pokok dan setumpuk masalah lainnya. Namun sekali lagi, di balik kemenangan mereka menjatuhkan Khadafi, ada jasa dunia Barat. Tentara pemberontak tidak sendirian. Ada suplai senjata, makanan dan keuangan dari Barat.
Bukan perkara mudah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, kesejahteraan yang lebih bermartabat, serta kemakmuran yang manusiawi dalam bingkai kehidupan politik yang demokratis. Apalagi setelah rakyat Libia terkungkung dalam genggaman rezim diktator atau otoriter selama lebih dari empat dekade.
Proses transisi politik pemerintahan diperkirakan jauh lebih rumit dan memakan waktu lama. Bercokolnya pertarungan politik antarsuku, penguasa wilayah, serta antara kubu Islamis, nasionalis, dan sekuler, akan membawa Libia ke jurang perpecahan, apabila proses transisi ini tidak terkelola dengan baik.
Dikhawatirkan juga lahir konflik domestik yang baru berupa perang saudara. Di sinilah poin krusialnya, bahwa ada kepentingan besar yang dipertaruhkan oleh masing-masing pihak. Pada akhirnya perdebatan siapa layak mendapatkan apa dalam pemerintahan baru nanti, akan mewarnai proses transisi di Libia. NTC punya pekerjaan penting menyatukan kepentingan yang bermain di Libia khususnya suku-suku yang ada.
Potensi konflik ini terbentuk jauh sebelum Khadafi berkuasa dan tumbuh subur selama 42 tahun kediktatorannya. Sekarang negara ini kehilangan suatu simbol perlawanan bersama, yaitu kebencian mereka terhadap Singa Tua dari Libia tersebut. Konflik sipil yang lebih besar sudah akan menyambut Libia apabila NTC tak dapat menemukan bentuk negara yang tepat selama masa transisi.
Selain dari dalam negeri, NTC juga menghadapi tekanan dari luar negeri. Keterlibatan Amerika Serikat dan sekutunya, Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO, dengan dalih menumpas rezim otoriter, tentu mengusung kepentingan terselubung. Tentu ini akan mempengaruhi dan semakin memperberat proses transisi politik.
Jangan sampai Libia menjadi wilayah konflik berkepanjangan. Tak dimungkiri, sejumlah negara yang mengalami transisi politik pemerintahan dengan bumbu intervensi militer AS dan sekutunya, seperti Irak dan Afghanistan, rakyatnya kini bergumul dengan konflik. Stabilitas politik dan pemerintahan tak kunjung terwujud.
Kini dunia mengamati peran NATO selanjutnya. Setelah mengintervensi ke Libia dengan alasan membela dan mendukung gerakan prodemokrasi yang ditindas rezim Khadafi, akan segera terlihat apakah memang itu kepentingan sejati di balik serangan NATO, ataukah sekadar mengamankan kepentingan para anggota NATO dalam mengapling sumur-sumur minyak Libia.
Bila melihat Irak yang kini dilanda konflik kekerasan berkepanjangan, tentu banyak pihak yang tidak menginginkan nasib yang sama dialami Libia. Di mana Barat masuk demi mengamankan kepentingan komoditi yang dikenal dengan emas hitam itu, dan seperti tidak berdaya saat melihat kekerasan yang ada.
Dengan mengusung demokrasi dan hak asasi manusia, serta alasan senjata pemusnah massal, AS dan sekutunya menjanjikan kehidupan yang lebih baik di Negeri Seribu Satu Malam. Namun itu semua kini hanyalah sebuah fatamorgana. Karena faktanya, kehidupan masyarakat Irak tidak menjadi lebih baik, bahkan bisa dibilang lebih parah.
Seperti apakah Libia pasca-Khadafi tentu harus ditunggu kenyataannya. Yang pasti kehidupan baru akan tampil bersama demokrasi dan persatuan nasional. Tentu dengan membangun Libia yang menghargai harkat kemanusiaan yang adil dan beradab.(JUM/dari berbagai sumber)